Penjelasan Dan Hukum Menutup Aurat
Aurat adalah bagian dari tubuh manusia yang wajib ditutupi dari pandangan
orang lain dengan pakaian. Menampakkan aurat bagi umat Islam dianggap melanggar
syariat dan dihukumi sebagai sebuah dosa.
Al-Qurʾān menyatakan bahwa:
يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَسۡتُنَّ كَأَحَدٖ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيۡتُنَّۚ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَيَطۡمَعَ
ٱلَّذِي فِي قَلۡبِهِۦ مَرَضٞ وَقُلۡنَ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا
“ Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,
jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan
yang baik,"
(Al-Ahzab [33] ayat: 32).
Penjelasan dalam Al-Qurʾān
وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ
وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا
يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ
ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ
أَوۡ بَنِيٓ
“ Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya, dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan, dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung."
(An-Nuur [24] ayat 31).
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن
جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن
يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا
رَّحِيمٗا
“Hai nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu, dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha
penyayang."
(Al-Ahzab [33] ayat: 59).
Pendapat Ulama Tentang Aurat
Madzhab Syafi’i
Pendapat para ulama Madzhab Syafi’i tentang batasan aurat perempuan, sebagai
berikut :
1. Imam Syafi’i menyatakan dalam Al-Um ketika menjelaskan syarat-syarat
shalat sebagai berikut :
وكل بدن المرأة عورة إلا كفيها ووجهها
“Dan seluruh tubuh perempuan adalah aurat kecuali telapak tangan dan
wajahnya.”
Lihat:
Syafi’i, Al-Um, (Tahqiq dan Takhrij oleh Dr Rifa’at Fauzi Abd
Al-Mutahallib), Juz. 2, Hal. 201.
2. Ibnu Al-Munzir mengatakan dalam kitabnya, Al-Awsath sebagai berikut :
واختلفوا فيما عليها ان تغطي في الصلاة فقالت طائفة : على المرأة ان
تغطي ما سوى كفيها و وجهها. هذا قول الاوزاعي والشافعي وابي ثور
“Para ulama berbeda pendapat dalam hal kewajiban perempuan menutup aurat
dalam shalat.
Sekelompok ulama mengatakan wajib atas perempuan menutup seluruh badannya
kecuali kedua telapak tangan dan wajahnya.
Ini merupakan pendapat Al-Auza’i, Syafi’i dan Abu Tsur”.
Selanjutnya Ibnu Al-Munzir menyebutkan pendapat ahli tafsir dalam
menafsirkan Surah An-Nuur [24] ayat 31 sebagai dalil pendapat di atas.
Surah An-Nuur [24] ayat 31 tersebut berbunyi :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya."
(Surah An-Nuur [24] ayat 31).
Ibnu Al-Munzir mengatakan bahwa Ibnu Abbas, ‘Atha’, Makhul dan Said Bin
Jubair berpendapat bahwa maksud dari yang biasa yang nampak itu adalah kedua
telapak tangan dan wajahnya.
Lihat:
Ibnu Al-Munzir, Al-Awsath, Dar Al-Falah, Riyadh, Juz. 5, Hal. 53.
3. Abu Ishaq Asy-Syairazi mengatakan :
أما الحرة فجميع بدنها عورة إلا الوجه والكفين لقوله تعالى ولا يبدين
زينتهن إلا
ما ظهر منها قال ابن عباس: وجهها وكفيها ولأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى المرأة في الحرام عن لبس القفازين
والنقاب ولو كان الوجه والكف عورة لما حرم سترهما ولأن الحاجة تدعو إلى إبراز الوجه في البيع والشراء
وإلى إبراز
الكف للأخذ والإعطاء فلم يجعل ذلك عورة
"Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya merupakan aurat, kecuali
wajah dan dua telapak tangan.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak dari padanya”.
Ibnu ‘Abbas berkata (mengomentari ayat ini), ‘yang dimaksud adalah wajah dan
dua telapak tangannya’.
Dasar lainnya adalah karena Nabi SAW melarang wanita ketika ihram memakai
sarung tangan dan cadar.
Seandainya wajah dan telapak tangan merupakan aurat, Rasulullah tidak akan
mengharamkan menutupnya.
Alasan lainnya adalah karena adanya keperluan yang menuntut seorang wanita
untuk menampakkan wajah dalam jual beli, dan menampakkan telapak tangan ketika
memberi dan menerima sesuatu. Maka, tidak dijadikan wajah dan telapak tangan
sebagai aurat.
Lihat:
Abu Ishaq Asy-Syairazi, Al-Muhazzab, dicetak bersama Majmu’ Syarh
Al-Muhazzab, Maktabah Al-Irsyad, Jeddah, Juz. 3, Hal. 173.
4. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan :
ان المشهور من مذهبنا أن عورة الرجل ما بين سرته وركبته وكذلك الامة وعورة الحرة جميع بدنها الا الوجه والكفين
وبهذا كله قال مالك وطائفة وهي رواية
عن احمد
“Pendapat yang masyhur dalam mazhab kami (syafi’iyah) bahwa aurat pria
adalah antara pusar hingga lutut, begitu pula budak perempuan.
Sedangkan aurat perempuan merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah dan
telapak tangan.
Demikian pula pendapat yang dianut oleh Malik dan sekelompok ulama serta
menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad.”
Lihat:
An-Nawawi, Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Maktabah Al-Irsyad, Jeddah, Juz. 3,
Hal. 174.
5. Dalam Tuhfah Al-Muhtaj, disebutkan :
(وَ) عَوْرَةُ (الْحُرَّةِ) وَلَوْ غَيْرَ مُمَيِّزَةٍ وَالْخُنْثَى
الْحُرِّ (مَا سِوَى
الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ) ظَهْرُهُمَا وَبَطْنُهُمَا إلَى الْكُوعَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا أَيْ إلَّا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَلِلْحَاجَةِ لِكَشْفِهِمَا وَإِنَّمَا حَرُمَ
نَظَرُهُمَا كَالزَّائِدِ عَلَى عَوْرَةِ
الْأَمَةِ لِأَنَّ ذَلِكَ مَظِنَّةٌ لِلْفِتْنَةِ
"Aurat wanita merdeka, meskipun dia itu belum mumayyiz dan aurat khuntsa
merdeka adalah selain wajah dan dua telapak tangan, dhahirnya dan bathinnya
sehingga dua persendiannya, berdasarkan firman Allah :
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa
nampak dari padanya”, yaitu kecuali wajah dan dua telapak tangan.
Alasan lain adalah karena ada keperluan membukanya.
Hanya haram melihat wajah dan kedua telapak tangan seperti halnya yang lebih
dari aurat hamba sahaya wanita, karena yang demikian itu berpotensi menimbulkan
fitnah.
Lihat:
Ibnu Hajar Al-Haitamy, Tuhfah Al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi
Syarwani, Mathba’ah Mushthafa Muhammad, Mesir, Juz. 2, Hal. 111-112.
6. Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر
الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه
والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم :
كعورة الرجل أي ما بين السرة والركبة
“Wanita memiliki tiga jenis aurat,
(1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan
kecuali wajah dan telapak tangan,
(2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk
wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad,
(3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu
antara pusar dan lutut”
Lihat:
Syarwani, Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah Al-Muhtaj, Mathba’ah Mushthafa
Muhammad, Mesir, Juz. 2, Hal. 112.
7. Ibnu Qaasim Al-Abadi berkata:
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما
في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan,
walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan,
bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung
menimbulkan fitnah”.
Lihat:
Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, Juz 3. Hal. 115.
8. Syaikh Sulaiman Al-Jamal berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين
السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن
“Maksud perkataan An-Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak
tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak
di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga lutut. Sedangkan
di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan”.
Lihat:
Hasyiyah Al-Jamal Ala’ Syarh Al-Minhaj. Hal. 411.
9. Syaikh Taqiyuddin Al-Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن
خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
"Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau
lukisan.
Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat, kecuali jika di
masjid yang kondisinya sulit terjaga dari pandangan lelaki ajnabi.
Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan
kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab."
Lihat:
Syaikh Taqiyuddin Al-Hushni, Kifayatuul Akhyar, Dar Al-Kutub Al-Arabiyah,
Beirut, Hal. 144.
10. Dalam I’anah Ath-Thalibin disebutkan :
قال في فتح الجواد: ولا ينافيه، أي ما حكاه الإمام من اتفاق المسلمين على المنع، ما نقله القاضي عياض عن العلماء
أنه لا يجب على المرأة ستر وجهها في
طريقها، وإنما ذلك سنة، وعلى الرجال غض البصر لأن منعهن
من ذلك ليس لوجوب الستر عليهن، بل لأن فيه مصلحة عامة بسد باب الفتنة. نعم، الوجه وجوبه عليها إذا علمت نظر أجنبي إليها أخذا من
قولهم يلزمها ستر وجهها عن الذمية، ولأن في بقاء كشفه إعانة على الحرام
"Pengarang Fath Al-Jawad mengatakan, “Apa yang diceritakan oleh Al-Imam
bahwa sepakat kaum muslimin atas terlarang (terlarang wanita keluar dengan
terbuka wajah) tidak berlawanan dengan yang dikutip oleh Qadhi ‘Iyadh dari ulama
bahwa tidak wajib atas wanita menutup wajahnya pada jalan, yang demikian itu
hanya sunnah dan hanyasanya atas laki-laki wajib memicing pandangannya, karena
terlarang wanita yang demikian itu bukan karena wajib menutup wajah atas
mereka, tetapi karena di situ ada maslahah yang umum dengan menutup pintu
fitnah.
Namun menurut pendapat yang kuat wajib menutupnya atas wanita apabila
diketahuinya ada pandangan laki-laki ajnabi kepadanya, karena memahami dari
perkataan ulama “wanita wajib menutup wajahnya dari kafir zimmi” dan juga
karena membiarkan terbuka wajah membantu atas sesuatu yang haram.
Lihat:
Sayyid Al-Bakriy Asy-Syatha, I’anah ath-Thalibin, Thaha Putra, Semarang,
Juz. 3, Hal. 258-259.
11. Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة
، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini
aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh
badan”.
Lihat:
Fathul Qaarib. Hal. 19.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapat dipahami dalam mazhab
Syafi’i sebagai berikut :
1. Aurat wanita merdeka dalam shalat dalam artian wajib ditutupinya adalah
seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Aurat wanita merdeka di luar shalat dalam artian haram memandangnya oleh
laki-laki ajnabi (bukan mahramnya) adalah seluruh tubuh tanpa kecuali, yaitu
termasuk wajah dan telapak tangan.
3. Aurat wanita merdeka di luar shalat dalam artian wajib menutupinya sama
dengan aurat dalam shalat, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan.
4. Wajib menutup wajah dan telapak tangan di dalam dan diluar shalat atas
wanita apabila diketahuinya ada pandangan laki-laki bukan mahram kepadanya.
Adapun argumentasi aurat wanita merdeka dalam shalat dan diluar shalat dalam
artian wajib ditutupinya adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan
adalah firman Allah berbunyi :
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها
"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya."(An-Nuur [24] ayat 31).
Yang dimaksud dengan “illa maa zhahara minha” adalah wajah dan telapak
tangan, sebagaimana keterangan Ibnu Abbas, ‘Atha’, Makhul dan Said Bin Jubair
yang dikutip oleh Ishaq Asy-Syairazi dan Ibnu Al-Munzir di atas.
Penjelasan Imam Syafi’i dan ulama lainnya di atas tidak boleh dipahami bahwa
itu hanyalah masalah aurat perempuan dalam shalat saja, meskipun para ulama
tersebut menjelaskannya dalam bab shalat, bahkan batasan aurat perempuan
seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan juga berlaku di luar shalat.
Hal ini karena dalil yang mereka gunakan untuk batas aurat perempuan seluruh
tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah berdasarkan Surah An-Nur ayat
31 di atas sebagaimana terlihat dalam penjelasan Ibnu Al-Munzir, Asy-Syairazi
dan Ibnu Hajar Al-Haitamy di atas.
Sementara sebagaimana dimaklumi Surah An-Nur ayat 31 tersebut berlaku untuk
perempuan muslimah, baik dalam shalat maupun di luar shalat.
Ibnu Katsir menyebutkan sebab nuzul ayat ini adalah seorang muslimah bernama
Asmaa binti Mursyidah pernah berada di antara kaum Bani Haritsah.
Perempuan-perempuan dari Bani Haritsah menemuinya dalam keadaan tanpa busana
yang semestinya, yang nampak gelang kaki di kaki mereka, dada dan jambul
mereka. Asmaa pun berucap : “Alangkah sangat keji ini”.
Maka turun ayat Surah An-Nur ayat 31 ini.
Lihat:
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Juz. 6,
Hal. 41.
Penjelasan Ibnu Katsir ini juga telah dikemukakan oleh As-Suyuthi dalam
kitab Lubab An-Nuqul fii Asbab An-Nuzul.
Lihat:
As-Suyuthi, Lubab An-Nuqul fii Asbab An-Nuzul, Muassisah Al-Kutub
Ats-Tsaqafiyah, Beirut, Hal. 187.
Berdasarkan asbab an-nuzul-nya ini, maka dapat dipahami bahwa ayat Surah
An-Nur ayat 31 ini tidak mungkin hanya dipahami sebagai penjelasan aurat
perempuan dalam shalat saja, karena sebab nuzulnya tidak mungkin boleh keluar
dari maksud ayat sebagaimana dimaklumi dalam ushul fiqh.
Alhasil pada dasarnya, aurat perempuan di luar shalat menurut mazhab Syafi’i
adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan.
Adapun nash sebagian ulama Syafi’iyah yang menyebutkan aurat perempuan di
luar shalat adalah seluruh tubuh tanpa kecuali, hal itu adalah karena i’tibar
faktor luar, seperti fitnah, dapat mengundang pandangan yang diharamkan atau
lainnya sebagaimana sudah disebutkan dalam butir-butir kesimpulan di atas.
Karena itu, kadang-kadang perempuan dalam kondisi tertentu wajib menutup
seluruh tubuhnya tanpa kecuali, namun hukum dasarnya aurat perempuan tidak
termasuk wajah dan telapak tangan.
Argumentasi wajib atas laki-laki menahan matanya dari sengaja memandang
sebagian tubuh wanita termasuk wajahnya, berdasarkan firman Allah berbunyi :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat."(An-Nuur [24] ayat 30).
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
memakai penutup wajah (cadar) dalam pandangan mazhab Syafi’i adalah tidak
wajib.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa memakai cadar merupakan ekspresi akhlaq
yang mulia dan menjadi sunnah, karena setidaknya hal itu dapat mencegah hal-hal
yang menjadi potensi kemungkaran dan maksiat.
Bahkan menjadi wajib kalau diduga kuat (dhan) seandainya membuka wajah akan
mendatangkan pandangan haram laki-laki kepadanya.
Wallahu A’lam bish-shawab.
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan baik