MENUMBUHKAN KEDERMAWANAN.
Imam Abu Dawud meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah memberitakan bahwa suatu saat umat Islam akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa di sekitarnya seperti orang-orang lapar mengerumuni piring makanan.
Meskipun jumlah umat Islam saat itu banyak, tetapi kualitasnya seperti buih, karena di dalam hati mereka bersemayam penyakit wahn. Penyakit wahn itu didefinisikan oleh Rasulullah SAW sebagai “cinta dunia dan takut mati“.
Allah memberitakan bahwa karena cintanya yang amat sangat kepada harta dunia manusia menjadi bakhil.
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.”
(QS. Al-’Aadiyaat: 8)
Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa maksud ayat ini ialah: manusia itu sangat kuat cintanya kepada harta sehingga ia menjadi bakhil.
Padahal bakhil alias kikir itu merupakan sifat jelek dan syaitan selalu menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan dan menyuruhnya untuk berbuat kikir.
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.”
(QS. Al-Baqarah: 268).
Di dunia ini orang kikir dibenci oleh orang lain, bahkan oleh teman dan anggota keluarganya sendiri.
Islam mengajarkan kepada manusia untuk lebih mencintai akhirat dengan menegaskan bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik dari pada dunia.
وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأولَى
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang.”
(QS. Adl-Dluha: 4).
وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰٓ
“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”
(QS. Al-A'laa : 17).
Sedangkan kehidupan dunia itu tiada lain hanya permainan dan sendau gurau belaka.
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”
(QS. Al-An’am: 32).
Maksudnya: kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal, janganlah orang terperdaya dengan kesenangan-kesenangan dunia, serta lalai dari memperhatikan urusan akhirat.
Rasulullah SAW sendiri memberikan contoh langsung bagaimana cara untuk lebih mencintai akhirat dari pada dunia. Meskipun beliau menjadi kepala negara yang disegani dunia tetapi beliau hidup dengan sederhana, tidak pernah membangun istana dan menumpuk harta. Rampasan perang yang tidak ternilai jumlahnya semasa hidup beliau, semua dibagikan kepada umatnya, tidak beliau sisakan sedikitpun sebagai harta warisan.
Di mata sahabat beliau memberi sesuatu kepada sahabat seolah tidak takut miskin dan memang beliau tidak pernah takut. Bahkan kedermawanan beliau di bulan Ramadlan seperti ini digambarkan seperti angin yang berhembus.
Maka wajar kalau para sahabat yang berada di bawah asuhan beliau menjadi manusia-manusia yang lebih mencintai akhirat dari pada dunia, menjadi manusia-manusia yang dermawan. Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Utsman bin ‘Affan, dan Abdurrahman bin ‘Auf merupakan beberapa sosok sahabat yang terkenal karena kedermawanan mereka.
Orang yang dermawan akan dicintai oleh keluarga, kerabat, sahabat, tetangga dan siapapun yang bersinggungan dengannya. Kedermawanan sangat bermanfaat untuk merajut hubungan hati sesama manusia, termasuk hubungan hati antara juru dakwah dengan sasaran dakwah.
Seorang juru dakwah yang dermawan akan dicintai oleh umatnya, didengar nasehatnya, dan diikuti petunjuknya. Seandainya semua umat Islam dengan puasa Ramadlan ini berubah sifatnya dari kikir menjadi dermawan, maka tidak akan ada umat Islam yang hidupnya miskin, papa dan sengsara.
Maka wajar kalau Allah menilai orang yang terbebas dari kekikiran dirinya termasuk orang yang beruntung.
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”
(QS. Al-Hasyr : 9)
Agar hidup kita lebih bermakna bagi orang lain dan agar diri kita menjadi orang yang beruntung, maka di hari-hari akhir bulan Ramadlan ini marilah kita hilangkan kekikiran jiwa dengan menumbuhkan kedermawanan.
Semoga kedermawanan yang tumbuh karena keimanan kepada Allah dan hari akhir akan menjadi sebab bagi Allah untuk mengampuni dosa kita dan mengaruniakan surga bagi kita semua.
Amin.
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan baik