Thursday 30 June 2016

Belajar Ilmu Agama Mesti Ada Guru


Belajar Ilmu Agama Itu Mesti Ada Guru.


Berkata nenek moyang kami: “Buet bha’ agama ta meuguree, beek ta teumiree” (Perkara dalam agama itu harus berguru bukan menjiplak ataupun meniru-niru).


من لا شيخ له فالشيطان شيخه


“Barangsiapa yang tidak mempunyai guru, maka syaitan itulah gurunya”.


قال على كرم الله وجهه : أنا عبد من علمنى حرفآ واحدآ إن شاء باع وإن شاء اعتق وإن شاء استرق


Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah berkata: “Saya adalah budak (hamba sahaya) bagi siapa saja yang mengajari saya mesti pun satu huruf, terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan ataupun tetap menjadi budaknya”.

Bercermin kepada perkataan Sayyidina Ali tersebut memang seharusnya kita semua berterima kasih sebesar-sebarnya kepada guru kita, memuliakan mereka (menjaga akhlak) dan senantiasa mendoakan mereka.
 
Mereka yang mengajari kita tanpa pamrih, sangat besar peran mereka dalam ‘membentuk’ kita.

Sebahagian daripada adab kita terhadap mereka (guru) adalah:


ومن توقير المعلم أن لايمشى أمامه، ولا يجلس مكانه، ولا يبتدئ بالكلام عنده إلا بإذنه، ولا يكثر الكلام عنده، ولا يسأل شيئا عند ملالته ويراعى الوقت، ولا يدق الباب بل يصبر حتى يخرج الأستاذ


Termasuk arti menghormati guru, yaitu jangan berjalan di depannya, jangan duduk di tempatnya, jangan memulai berbicara kecuali atas perkenan darinya, dan jangan banyak berbicara (hal-hal yang tidak perlu) kepadanya, dan jangan menanyakan hal-hal yang membosankannya, cukuplah dengan sabar menanti diluar hingga ia sendiri yang keluar dari rumahnya.

Alkisah:
 
Suatu hari Abdullah ibn ‘Abbas datang kerumah Zaid ibn Tsabit (gurunya) untuk belajar beberapa ilmu, sesampainya didepan rumah gurunya, ketika hendak mengetuk pintu Abdullah ibn ‘Abbas khawatir “wrong-time”, sehingga beliau memutuskan untuk menunggu saja diluar, bahkan beliau menunggunya hingga berjam-jam namun gurunya (Zaid ibn Tsabit) belum juga keluar.
 
Angin yang berhembus membawa debu padang pasir mengenainya sampai hitam mukanya, tapi beliau tidak sedkitpun beranjak dari tempatnya dan menunggu dengan sabar, bahkan tidak terbisik sedikitpun dalam hatinya: “Aaah lama sekali beliau didalam, mending saya pulang saja, lebih baik saya cari saja orang lain untuk mengajari saya”.

Akhirnya, Zaid ibn Tsabit membuka pintu dan mendapati Sayyidina Abdullah bin ‘Abbas disana. Lalu, Zaid ibn Tsabit berkata: “Wahai anak paman Rasulullah (Abdullah bin ‘Abbas) kenapa engkau tidak mengirim seseorang untuk memberitahuku biar aku saja yang datang ketempatmu, jika kamu perlu”.
Zaid ibn Tsabit mengatakan demikian karena menghormati ahlul bait; orang yang punya hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah, bahkan Zaid ibn Tsabit orang yang sangat tawadhu’, lantas spontan Abdullah bin ‘Abbas menjawab:


والعلم يؤتى ولا يأتي

“ilmu itu didatangi bukan yang datang”.
(Saya yang datang ke tempat ilmu, bukan ilmu yang datang kepada saya).

Kemudian Zaid ibn Tsabit keluar menaiki kudanya, Abdullah bin ‘Abbas memegang kendali (tali) kudanya.
Mungkin kalau diibaratkan sekarang, membukakan pintu mobil, memapahnya masuk.
 
Namun apa yang terjadi? Zaid ibn Tsabit berkata: “Tidak usah, tidak usah dipandu, biarkan saja”.
Sepertinya beliau sangat keberatan karena anak paman nabi yang melakukannya.

 
Abdullah ibn ‘Abbas pun berkata:

هكذا اميرنا أن نفعل بعلماءنا

“Demikian kami diperintahkan untuk sopan (memperlakukan) kepada ulama-ulama kami”.

Walhasil, Abdullah ibn ‘Abbas pun menjadi muridnya Zaid ibn Tsabit.

 

Bahaya belajar agama hanya dengan membaca (tanpa talaqqi atau tanpa mengaji pada para ulama):

 1. Buku ditulis oleh orang yang sesat (Wahabi dan semacamnya), sehingga ia akan tersesat seperti penulisnya.

 2. Buku ditulis oleh orang yang lurus (ulama Sunni), tetapi ada kesalahan cetak dalam buku karyanya, maka dia akan tersesat seperti bukunya.

 3. Bukunya ditulis oleh orang yang lurus (ulama Sunni), tetapi ada sisipan, dass, pemalsuan dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab, maka dia juga akan tersesat mengikuti buku itu.

 4. Buku ditulis oleh orang yang lurus, tidak ada salah cetak dan sisipan, tetapi dia salah paham terhadap buku tersebut, sehingga dia tersesat.

Karena itu, agar kita selamat....
Belajarlah kepada ulama yang bersanad dan tsiqah (terpercaya).
Janganlah belajar kepada para “kutu buku” yang mengajarkan sebuah kitab tanpa di-talaqqi-kanterlebih dahulu.

 

Banyak ustadz dan da’i kagetan yang mendadak menjadi ahli fatwa yang menghukumi halal-haram, bid’ah atau sunnah, dan mana yang sesat atau selamat. Mereka merasa cukup paham satu ayat dan sudah bisa ber-istinbath mengeluarkan fatwa. Alasan mereka adalah hadits Nabi SAW yang gemar mereka kutip: “Ballighu ‘anni walau ayat”, “sampaikan dariku meski hanya satu ayat”.

 
Bagaimana sebenarnya maksud hadits Nabi tersebut?


٣٢٠٢ – حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّحَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ


Telah bercerita kepada kami Abu ‘Ashim adl-Dlahhak bin Makhlad telah mengabarkan kepada kami Al-Awza’iy telah bercerita kepada kami Hassan bin ‘Athiyyah dari Abi Kabsyah dari ‘Abdullah bin ‘Amru bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”.

Hadits dari kitab shahih Bukhari (hadits nomor 3202) di atas biasanya dikutip tidak utuh, makanya saya cantumkan lengkap di atas. Hadits tersebut juga tercantum dalam Sunan Abi Dawud, hadits nomor 3177; Sunan At-Tirmidzi, hadits nomor 2593; dan Musnad Ahmad, hadits nomor 6198.

Tiga kitab hadits (Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi) mencantumkannya dalam bab Bani Israil. Kenapa? Nah di sini clue penting yang menjadi hilang kalau hadits di atas tidak dikutip secara lengkap seperti yang dilakukan para da’i dan ustadz dadakan itu.

Pertama, hadits di atas bicara soal penyampaian informasi. Rasul menjelaskan ayat yang beliau baru terima tidak selalu didepan semua sahabat. Adakalanya saat menerima wahyu Rasul didampingi oleh 2-3 sahabat. Atau saat memberikan penjelasan di masjid, ada sahabat yang tidak hadir. Ini sebabnya dalam riwayat lain Nabi bersabda “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir” (HR. Bukhari-Muslim).

Inilah konteks hadits ‘sampaikan dariku meski satu ayat’. Sahabat diminta menyampaikan penjelasan Rasul kepada yang tidak hadir atau tidak mendengar langsung dari Rasul agar mereka juga tahu apa penjelasan dari Rasul. Jadi, meski seorang sahabat hanya mendengar satu ayat, tapi kalau satu ayat itu tidak diketahui oleh yang lain, sampaikanlah. Begitulah penjelasan Ibn Hajar dalam Fathul Bari yang men-syarah-i hadits di atas.

Kedua, hadits di atas juga mengabarkan bahwa info yang disebar itu bukan hanya dari Rasul tapi juga dari bani Israil. Mungkin ini sebabnya hadits ini suka dipangkas karena sudah menyebut soal bani Israil. Kalau konsisten mau berdalil dengan hadits ini maka jelas kita harus sampaikan juga info lainnya termasuk dari bani Israil. Jangan menyembunyikan info untuk kepentingan tertentu.

Hadits di atas sesungguhnya tengah mengajarkan kita tentang pentingnya memberikan keseimbangan info. Mentang-mentang tidak suka dengan kelompok tertentu maka dalil bantahan mereka disembunyikan. Ini tidak benar karena info dari bani Israil saja kata Nabi tidak mengapa diceritakan, sebagaimana para sahabat menceritakan penjelasan ayat dari Nabi. Di sinilah tingginya muatan moral dari Nabi masalah penyebaran informasi ini.

Ketiga, ada satu larangan dalam hadits di atas, yaitu kita jangan bohong atas nama Rasul atau mengada-ngadakan cerita bahwa Rasul bilang begini dan begitu padahal itu tidak benar. Melakukan dusta atas nama Rasul ini akan dijamin masuk neraka seperti disebutkan dalam bagian akhir hadits di atas.

Walhasil, dengan membaca teks lengkap dan memahami konteks serta membaca syarh hadits tersebut, maka kita akan memperoleh pemahaman yang menyeluruh bahwa hadits di atas bukan bermakna boleh berdakwah apalagi mengeluarkan fatwa cuma dengan modal satu ayat. Menyampaikan berita atau informasi itu tidak sama dengan menyampaikan kandungan atau tafsir ayat Al-Qur'an.
Ibaratnya, bagian Humas dengan bagian Litbang itu jelas berbeda.
Yang satu cuma meneruskan informasi yang ada, dan yang satu lagi mengkaji dan meneliti informasi tersebut.

Jelas hadits tersebut kalau dibaca secara lengkap tidak bicara dalam konteks berdakwah apalagi memutus perkara halal-haram, atau dipakai untuk menyalah-nyalahkan orang lain yang berbeda pemahaman. Hadits di atas sejatinya bicara soal penyampaian, penyeimbangan dan akurasi informasi.

Allahu A’lam bish-shawab.

Anonymous Web Developer

Blog idiots yg membahas tentang pengetahuan, tentang islam , multimedia , graphic design dan photography.

2 comments:

Berkomentarlah dengan baik