Friday 12 August 2016

Agar Rajin Shalat, Bacalah Doa Ini

Agar Rajin Shalat, Bacalah Doa Ini

SHALAT merupakan kewajban. Hanya saja, walaupun Allah SWT telah menegaskannya, tetap rasa malas dalam menjalankan kewajiban ini masih ada. Tak sedikit orang yang meninggalkan shalat. Bahkan, mereka menganggap biasa jika kehilangan kesempatan untuk berkomunikasi dengan Allah SWT.

Bagi orang tua, kita harus bisa menanamkan tanggungjawab kepada seorang anak. Ia harus mengajarkan pentingnya mengerjakan perintah yang menjadi kewajibannya. Ya, salah satunya shalat.

Jika sudah beranjak dewasa, maka akan cukup sulit bagi seseorang mengarahkan orang yang enggan melaksanakan shalat. Hatinya sudah cukup keras untuk tidak mematuhi perintah Allah SWT. Jika hal ini sudah terjadi, apa yang harus dilakukan?

Dalam karya Ustadz Zulfi Akmal, seorang kandidat Doktor di Universitas Al-Azhar, Mesir, dikisahkan tentang seorang ibu yang memiliki anak gadis kelas 5 SD yang sangat malas mengerjakan shalat. Suatu ketika, ibunya menyuruhnya mengerjakan shalat. Dengan malas ia beranjak juga, tapi hanya melemparkan sajadah ke lantai.

Selanjutnya, ia mendatangi ibunya. Ketika ditanya, apakah ia sudah menunaikan shalat? Ia pun menjawab, “Sudah.” Ibunya pun marah, karena saat itu ia mengawasinya, sehingga tahu kalau anaknya itu berbohong. Dengan refleks, ia menampar anaknya. Namun, setelah itu timbullah penyesalan dalam dirinya. Ia pun kembali menasihati anaknya dan menakut-nakuti dengan azab Allah SWT. Tapi, hasilnya nihil.

Suatu ketika, ibu mendapat kisah dari seorang rekannya yang mengunjungi kerabatnya. Pemandangan yang dilihat oleh rekannya di rumah kerabatnya itu, membuatnya iri. Ia menyaksikan, anak-anak kerabatnya (keponakan-keponakannya) itu sangat menjaga shalatnya tanpa disuruh, apalagi dibentak-bentak. Padahal, sepengetahuannya, kerabatnya itu bukan orang yang mendalami pengetahuan agamanya.

Akhirnya, ia pun meminta nasihat dari kerabatnya itu. Rupanya, rahasianya adalah doa. Semenjak sebelum menikah, sang kerabat istiqamah membaca doa itu, bahkan hingga sekarang tidak pernah meninggalkannya. Setelah mendapatkan kisah yang mengandung nasihat itu, si ibu mengamalkan doa itu dalam setiap keadaan, terutama pada waktu-waktu mustajab.

Lihat pula:

http://bujairimi.blogspot.co.id/2016/05/inilah-waktu-dan-tempat-yang-dikabulkan.html?m=1


Dan masya Allah, Zat yang membolak-balik hati siapa pun. Semenjak ia mengamalkan doa itu, putrinya lambat laun mengalami perubahan. Ia mulai tergerak untuk menunaikan shalat. Bahkan, ia menjadi semacam alarm yang sering mengingatkannya untuk shalat. Kini putrinya telah berada di bangku SMA. Adik-adiknya pun demikian, sangat perhatian dan menjaga shalatnya.

Tentu Anda penasaran bukan dengan doa itu? Doa itu terdapat dalam Al-Quran surat Ibrahim ayat 40, seperti berikut:

رَبِّ ٱجۡعَلۡنِي مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِيۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلۡ دُعَآءِ

“Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Rabb kami, perkenankanlah doaku.”
(QS. Ibrahim [14] : 40).

Silakan rajin-rajin membacanya. Baik anak-anak kita sudah istiqamah menunaikan shalat, ataupun masih bermalas-malasan. Karena kandungan maknanya sangat visioner. Kita tidak sekadar mendoakan anak-anak kita, tetapi juga cucu-cucu kita, keturunan kita, agar menjadi hamba-hamba Allah yang istiqamah menjaga shalatnya.


Referensi :

Orang Tua Hebat Melahirkan Anak Hebat.
Karya: Fadlan Al-Ikhwani.
Penerbit: Al-Qudwah Publishing.

Wednesday 20 July 2016

TAWAKAL

MENGAJI TENTANG TAWAKAL DARI IMAM AL-GHAZALI.

Menurut Imam Al-Ghazali, tawakal itu digunakan dalam tiga tempat:

 1. Tawakal kepada keputusan Allah.

Maksudnya, engkau harus memiliki keyakinan penuh dan merasa puas dengan keputusan apa pun dari Allah. Hukum Allah tak akan berubah, seperti yang tercantum dalam Al-Quran dan hadits.

 2. Tawakal kepada pertolongan Allah.

Engkau harus bersandar dan percaya penuh pada pertolongan Allah Azza wa Jalla. Jika engkau menyandarkan diri pada pertolongan Allah dalam dakwah dan perjuangan bagi agama Allah, maka Allah pasti akan menolongmu.

 3. Tawakal berkaitan dengan pembagian rezeki yang diberikan oleh Allah.

Engkau harus yakin bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan mencukupi nafkah dan keperluan kita sehari-hari.

Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal kepada-Nya, niscaya Dia akan memberimu rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Burung itu keluar dari sarangnya di pagi hari dalam keadaan perut yang kosong dan pulang di sore hari dalam keadaan perut terisi penuh.” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

 Allah SWT berfirman,

 وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ

 “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS Ath-Thalaq: 3).

Imam Al-Ghazali mengatakan, “Rezeki itu ada empat macam, yakni rezeki yang dijamin, rezeki yang dibagikan, rezeki yang dimiliki, dan rezeki yang dijanjikan oleh Allah SWT.

Rezeki yang dijamin merujuk kepada makanan dan segala apa yang menopang tubuh dan jiwamu. Jenis rezeki seperti itu tak terkait dengan sumber-sumber lainnya di dunia. Jaminan terhadap rezeki jenis ini datang dari Allah Ta’ala. Maka, bertawakal terhadap rezeki jenis ini wajib berdasarkan dalil aqli dan syar’i. Sebab, Allah telah membebankan kita untuk mengabdi kepada-Nya dan mentaati-Nya dengan tubuh kita. Dia pasti telah menjamin apa-apa yang menjadi sumber energi bagi sel-sel tubuh kita agar kita dapat melaksanakan apa yang telah diperintahkan-Nya.

Rezeki yang dibagi adalah apa yang telah dibagikan oleh Allah dan telah tertulis di Lauwhun Mahfuzh secara detail. Masing-masing dibagikan sesuai dengan kadar yang telah ditentukan dan waktu yang telah ditetapkan, tidak lebih dan tidak kurang, tidak maju dan tidak mundur dari apa yang tertulis itu.

Rasulullah SAW bersabda, “Rezeki itu telah dibagikan dan kemudian telah diberikan semuanya. Tidaklah ketakwaan seseorang dapat menambahkannya dan tidak pula kejahatan orang yang berlaku jahat dapat menguranginya.”

Sedangkan rezeki yang dimiliki adalah harta benda dunia yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk dia miliki. Dan ini termasuk rezeki dari Allah.

Allah berfirman,

 أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰكُم

 “Belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 254).

Adapun rezeki yang dijanjikan adalah segala apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa dengan syarat ketakwaan, sebagai rezeki yang halal, tanpa didahului oleh usaha yang bersusah payah.

Sebagaimana firman Allah SWT,

 وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ

 “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” (QS Ath-Thalaq : 2-3).

Inilah beberapa jenis rezeki dari Allah, dan wajib bagi kita untuk bersikap tawakal dengan rezeki yang dijamin oleh-Nya. Maka, perhatikan hal ini dengan seksama.”

• Dikutip dari Kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghazali.

Friday 1 July 2016

Fadhilah Lailatul Qadar

Fadhilah Lailatul Qadar.

• Fadhilah Lailatul Qadar menurut Imam An-Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhadzdzab:

 

قوله (لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٞ مِّنۡ أَلۡفِ شَهۡرٖ)
معناه العبادة فيها أفضل من العبادة في ألف شهر ليس فيها ليلة القدر ، قال ابو طيب قال ابن عباس معناه العبادة فيها خير من العبادة في الف شهر بصيام نهارها وقيام ليلها ليس فيها ليلة القدر

 

Pada ucapannya (Malam Qadar lebih baik daripada seribu bulan), maknanya beribadah padanya itu adalah lebih utama daripada beribadah pada seribu bulan yang tidak terdapat malam qadar padanya.
Abu Thayyib berkata, Ibnu ‘Abbas berkata: Maknanya: Beribadah padanya itu adalah lebih baik daripada beribadah pada seribu bulan dengan berpuasa pada siang harinya dan qiamul-lail (beribadah) pada malam harinya yang tidak terdapat malam qadar padanya.

 

 قوله (تَنَزَّلُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ) أي جبريل عليه السلام (بِإِذۡنِ رَبِّهِم) أي بأمره (مِّن كُلِّ أَمۡرٖ سَلَٰمٌ) اي يسلمون على المؤمنين . قال ابن عباس يسلمون على كل مؤمن الا مدمن الخمر أو مصر على معصية أو كاهن أو مشاحن ، فمن أصابه السلام غفر له ما تقدم

 

Pada ucapannya (turunnya malaikat dan ruh), artinya Jibril ‘alaihis-salam.
(Dengan izin Tuhan mereka), artinya dengan perintah-Nya.
(Untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan), artinya mereka memberi salam atas segala orang beriman.
Ibnu ‘Abbas berkata: Mereka memberi salam atas setiap orang yang beriman, kecuali orang yang meminum arak (minuman keras / yang memabukkan), atau orang yang selalu (berkekalan) bermaksiat, atau dukun, orang yang dengki (benci-membenci).
Maka barang siapa yang tertimpa (mendapatkan) salam, niscaya diampuni baginya dosa yang telah lalu.


• Perkiraan terjadi Lailatul Qadar.

• Dalam Kitab Hasyiyah Ash-Shaawi ‘alal-Jalaalain (Cetakan Al-Haramain) juz 4 halaman 453, pada tafsir surah Al-Qadar.


فعن أبي الحسن الشاذلي إن كان أوله الأحد فليلة تسع وعشرين ، أو الإثنين فإحدي وعشري أو الثلاثاء فسبع وعشرين أو الأربعاء فتسعة عشر أو الخميس فخمس وعشرين أو الجمعة فسبعة عشر أوالسبت فثلاث وعشرين


“Dari Abi Al Hasan Asy Syadzaliy:
 Jika awal Ramadhan hari Ahad maka lailatul qadar malam 29.
 Jika awal Ramadhan hari Senin maka lailatul qadar malam 21.
 Jika awal Ramadhan hari Selasa maka lailatul qadar malam 27.
 Jika awal Ramadhan hari Rabu maka lailatul qadar malam 19.
 Jika awal Ramadhan hari Kamis maka lailatul qadar malam 25.
 Jika awal Raamadhan hari Jumat maka lailatul qadar malam 17.
 Jika awal Raamadhan hari Sabtu maka lailatul qadar malam 23.”


• Dalam Kitab Hasyiyah Al-Bajuriy (Cetakan Al-Haramain) juz 1 halaman 304.
 Dan Kitab Hasyiyah I’anatuth-Thalibin (Cetakan Al-Haramain) juz 2 halaman 258.

“Jika awal Ramadhan hari Jumat, maka Lailatul qadar pada malam 29.
 Jika awal Ramadhan hari Sabtu, maka Lailatul qadar pada malam 21.
 Jika awal Ramadhan hari Ahad, maka Lailatul qadar pada malam 27.
 Jika awal Ramadhan hari Senin, maka Lailatul qadar pada malam 29.
 Jika awal Ramadhan hari Selasa, maka Lailatul qadar pada malam 25.
 Jika awal Ramadhan hari Rabu, maka Lailatul qadar pada malam 27.
 Jika awal Ramadhan hari Kamis, maka Lailatul qadar pada malam 23”.

Allahu A’lam bish-shawab.

Thursday 30 June 2016

Antara Puasa Dan Zakat Fitrah


Mengenai riwayat tentang terkatung-katungnya ibadah puasa seseorang jika tidak membayar zakat fithr, akan terasa janggal jika dipahami. Karena puasa adalah ibadah tersendiri, zakat pun ibadah tersendiri, shalat juga ibadah tersendiri, haji pun ibadah tersendiri. Masing-masingnya memiliki syarat dan rukun tersendiri sebagai penentu keabsahannya. Dan keikhlashan niat pelaksana pada masing-masing ibadah ini juga menjadi penentu amal itu diterima ataupun tidak. Tidak ikhlash dalam melaksanakan shalat tidak memberi pengaruh kepada diterimanya puasa yang dilakukan dengan ikhlash. Dosa tidak menunaikan zakat tidak memberi pengaruh kepada keabsahan puasa yang dilakukan, begitu juga dengan diterima atau tidaknya puasa tersebut, karena betul-betul tergantung kepada keikhlasan pelaksananya dalam berpuasa. Hanya saja dapat dikatakan spirit puasanya belum mampu mendorongnya untuk peka sosial.
Riwayat tersebut adalah;
شهر رمضان معلق بين السماء والأرض ولا يرفع إلى الله إلا بزكاة الفطر
“(Puasa) bulan Ramadhan terkatung-katung di antara langit dan bumi, dan tidak diterima oleh Allah kecuali dengan menunaikan zakat fithr”
Imam Ibn al-Jauzi, Imam al-Suyuthi dan Imam al-Minawi sendiri telah menjelaskan titik kelemahan riwayat ini, seperti keberadaan periwayat tak dikenal yang tercantum dengan nama Muhammad bin Ubaid al-Bashri. Riwayat ini cukup populer di mimbar-mimbar masjid, mushalla, televisi, dengan niat memberikan semangat agar orang segera berzakat. Permasalahannya bukanlah masalah niat baik memotivasi tersebut, akan tetapi permasalahannya adalah mengaitkan keabsahan atau diterima dan tidak diterimanya sebuah amalan dengan amalan lain, sehingga riwayat ini sulit untuk diterima sebagai landasan.
Solusinya, terdapat hadis shahih riwayat Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah, diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sbb;
فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرةً للصائم من اللغو والرفث، وطعمةً للمساكين. فمن أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة، ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithr yang dapat membersihkan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia, kata-kata buruk, sekaligus dengan zakat itu dia memberimakan orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘id maka zakatnya sah. Sementara yang baru menunaikan setelah shalat hanya disebut sedekah biasa (zakatnya belum tertunaikan)”
Wallahu A'lam

Qunut pada shalat Witir di separuh terakhir Ramadhan


Qunut pada shalat Witir di separuh terakhir Ramadhan.

Adakah dalil yang mengatakan sunnah membaca Qunut pada shalat Witir di separuh terakhir Ramadhan?
• Dalam Kitab Fathul Mu’in:

وَسُنَّ قُنُوْتُ بِصُبْحٍ اَىْ فِىْ اِعْتِدَالِ رَكْعَتِهِ الثَّانِيَةِ بَعْدَ الذِّكْرِ الرَّاتِبِ عَلَى الْاَوْجُهِ. وَهُوَ اِلَى مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ وَاِعْتِدَالِ اَخِرَ وِتْرِ نِصْفٍ اَخِرٍ مِنْ رَمَضَانَ لِلاتِّبَاعِ وَيُكْرَهُ فِى النِّصْفِ الْاَوَّالِ كَبَقِيَّةِ السَّنَةِ (فتح المعين ص:٢٠ أو حاشية إعانة الطالبين الجزء الأول ص: ١٥٨)

Artinya:
“Di sunnahkan Qunut dalam shalat subuh pada i’tidal rakaat kedua setelah membaca dzikir (do’a) nya sampai “Min syai-im ba’du”, dan disunnahkan pula Qunut i’tidal yang akhir pada shalat Witir di separuh yang akhir dari bulan Ramadhan, karena mengikuti hadits. Makruh hukumnya Qunut di separuh yang awal bulan Ramadhan sebagaimana Qunut (di luar Ramadhan dalam shalat witir)”. (Fathul Mu‘in halaman: 20 atau Hasyiyah I’anatuth-Thalibin juz 1 halaman 158).

• Dalam Kitab Fathul Qarib:

والقنوت فى آخر الوتر فى النصف الثانى من شهر رمضان

Artinya:
“Dan Qunut pada (I’tidal rakaat) akhir Witir pada separuh kedua dari bulan Ramadhan.”
(Fathul Qarib - Hasyiyah Al-Bajuriy juz 1 halaman 164).

• Dalam kitab hadits:

قَالَ الْحَسَنُ بْن عَلِىِّ عَلَّمَنِى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ اَقُوْلُهُنَّ فِى الْوِتْرِ:اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

Artinya:
“Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat Witir, yaitu: Allahummahdiini fiiman hadaita, wa’aafini fiiman ‘afaita, watawallanii fiiman tawallaita, wabaarik lii fiima a’thaita, waqinii syarrama qadlaita, fainnaka taqdhi walaa yuqdha ‘alaika, wa innahu laa yadzillu man waalaita, tabaarakta rabbana wata’aalaita. (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)”.
(HR. At-Tirmidzi no. 463, ia berkata: ini hadits hasan).
• Abu Isa At-Tirmidzi berkata:

ولا نعرف عن النبى صلى الله عليه وسلم فى القنوت فى الوتر شيئا أحسن من هذا

“Tidak kami ketahui dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Qunut Witir yang lebih baik dari riwayat ini”.
Hadits di atas Di riwayatkan juga Abu Daud no. 1425, An)Nasai bab 51, Ibnu Majah no: 117, Baihaqi, Al-Hakim juz: 3 halaman: 172 di kutip dari sunan At-Tirmidzi juz: 2 halaman 11).

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَلِىِّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ كَانَ لَا يَقْنُتُ اِلاَّ فِى النِّصْفِ الْاَخِرِ مِنْ رَمَضَانَ, وَكَانَ يَقْنُتُ بَعْدَ الرُّكُوْعِ (رواه الترمذى جزء:٢ ص:١٢)

Artinya:
“Sungguh telah di riwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra. “Sesungguhnya ia tidak berqunut dalam shalat Witir kecuali di separuh yang akhir dalam bulan Ramadhan, dan ia berqunut setelah ruku’.” (HR. At-Tirmidzi, dalam sunan At-Tirmidzi juz: 2 halaman: 12).
• Imam At-Tirmidzi berkata:

وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ اَهْلِ الْعِلْمِ وَبِهِ الشَّافِعِىُّ وَاَحْمَدُ (رواه الترمذى جزء:٢ ص:١٢)
Artinya:
“Sebagian ulama telah memilih pendapat ini (Qunut dalam shalat Witir di separuh yang akhir dalam bulan Ramadhan), demikian juga Imam Syafi’i dan Imam Ahmad”. (Sunan At-Tirmidzi juz: 2 halaman: 12).

• Syaikh al-Mubarakfuri, pengarang kitab Tuhfat al-Ahwadzi, mengutip dari ulama ahli hadits Syaikh Muhammad bin Nashr yang menyampaikan banyak atsar baik dari sahabat Nabi maupun para ulama ahli ijtihad tentang dasar Qunut di pertengahan kedua bulan Ramadhan. Diantaranya adalah:
1- Sa’id bin Jubair.

وسئل سعيد بن جبير عن بدء القنوت فى الوتر فقال بعث عمر بن الخطاب جيشا فورطوا متورطا خاف عليهم فلما كان النصف الآخر رمضان قلت يدعو لهم


Sa’id bin Jubair ditanya tentang permulaan Qunut dalam shalat Witir. Beliau berkata: “Ketika Umar bin Khattab mengutus pasukan lalu mereka memperdaya pasukan yang dikhawatirkan kepada mereka, maka ketika sudah masuk pertengahan terakhir bulan Ramadhan, saya katakan bahwa Umar berdoa untuk mereka”.

2- Imam Asy-Syafi’i.

قال الزعفراني عن الشافعي أحب إلي أن يقنتوا فى الوتر فى النصف الآخر ولا يقنت فى سائر السنة ولا فى رمضان إلا فى النصف الآخر


Za’farani berkata dari Asy-Syafi’i: “Aku senang jika mereka Qunut di pertengahan akhir”. Asy-Syafi’i tidaklah Qunut (dalam shalat Witir) di sepanjang tahun dan tidak di bulan Ramadhan kecuali pada pertengahan terakhir.

3- Imam Ahmad bin Hanbal.

قلت إذا كان يقنت النصف الآخر متى يبتدىء قال إذا مضى خمس عشرة ليلة سادس عشرة


Saya (Abu Dawud bertanya pada Ahmad bin Hanbal) : “Jika Qunut pada pertengahan akhir bulan Ramadhan, kapankan dimulai?” Ahmad bin Hanbal menjawab: “Jika telah lewat 15, yaitu pada malam 16 Ramadhan”.
Dikutip dari kitab Tuhfat al-Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi juz 2 halaman 463.

Belajar Ilmu Agama Mesti Ada Guru

Belajar Ilmu Agama Itu Mesti Ada Guru.


Berkata nenek moyang kami: “Buet bha’ agama ta meuguree, beek ta teumiree” (Perkara dalam agama itu harus berguru bukan menjiplak ataupun meniru-niru).


من لا شيخ له فالشيطان شيخه


“Barangsiapa yang tidak mempunyai guru, maka syaitan itulah gurunya”.


قال على كرم الله وجهه : أنا عبد من علمنى حرفآ واحدآ إن شاء باع وإن شاء اعتق وإن شاء استرق


Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah berkata: “Saya adalah budak (hamba sahaya) bagi siapa saja yang mengajari saya mesti pun satu huruf, terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan ataupun tetap menjadi budaknya”.

Bercermin kepada perkataan Sayyidina Ali tersebut memang seharusnya kita semua berterima kasih sebesar-sebarnya kepada guru kita, memuliakan mereka (menjaga akhlak) dan senantiasa mendoakan mereka.
 
Mereka yang mengajari kita tanpa pamrih, sangat besar peran mereka dalam ‘membentuk’ kita.

Sebahagian daripada adab kita terhadap mereka (guru) adalah:


ومن توقير المعلم أن لايمشى أمامه، ولا يجلس مكانه، ولا يبتدئ بالكلام عنده إلا بإذنه، ولا يكثر الكلام عنده، ولا يسأل شيئا عند ملالته ويراعى الوقت، ولا يدق الباب بل يصبر حتى يخرج الأستاذ


Termasuk arti menghormati guru, yaitu jangan berjalan di depannya, jangan duduk di tempatnya, jangan memulai berbicara kecuali atas perkenan darinya, dan jangan banyak berbicara (hal-hal yang tidak perlu) kepadanya, dan jangan menanyakan hal-hal yang membosankannya, cukuplah dengan sabar menanti diluar hingga ia sendiri yang keluar dari rumahnya.

Alkisah:
 
Suatu hari Abdullah ibn ‘Abbas datang kerumah Zaid ibn Tsabit (gurunya) untuk belajar beberapa ilmu, sesampainya didepan rumah gurunya, ketika hendak mengetuk pintu Abdullah ibn ‘Abbas khawatir “wrong-time”, sehingga beliau memutuskan untuk menunggu saja diluar, bahkan beliau menunggunya hingga berjam-jam namun gurunya (Zaid ibn Tsabit) belum juga keluar.
 
Angin yang berhembus membawa debu padang pasir mengenainya sampai hitam mukanya, tapi beliau tidak sedkitpun beranjak dari tempatnya dan menunggu dengan sabar, bahkan tidak terbisik sedikitpun dalam hatinya: “Aaah lama sekali beliau didalam, mending saya pulang saja, lebih baik saya cari saja orang lain untuk mengajari saya”.

Akhirnya, Zaid ibn Tsabit membuka pintu dan mendapati Sayyidina Abdullah bin ‘Abbas disana. Lalu, Zaid ibn Tsabit berkata: “Wahai anak paman Rasulullah (Abdullah bin ‘Abbas) kenapa engkau tidak mengirim seseorang untuk memberitahuku biar aku saja yang datang ketempatmu, jika kamu perlu”.
Zaid ibn Tsabit mengatakan demikian karena menghormati ahlul bait; orang yang punya hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah, bahkan Zaid ibn Tsabit orang yang sangat tawadhu’, lantas spontan Abdullah bin ‘Abbas menjawab:


والعلم يؤتى ولا يأتي

“ilmu itu didatangi bukan yang datang”.
(Saya yang datang ke tempat ilmu, bukan ilmu yang datang kepada saya).

Kemudian Zaid ibn Tsabit keluar menaiki kudanya, Abdullah bin ‘Abbas memegang kendali (tali) kudanya.
Mungkin kalau diibaratkan sekarang, membukakan pintu mobil, memapahnya masuk.
 
Namun apa yang terjadi? Zaid ibn Tsabit berkata: “Tidak usah, tidak usah dipandu, biarkan saja”.
Sepertinya beliau sangat keberatan karena anak paman nabi yang melakukannya.

 
Abdullah ibn ‘Abbas pun berkata:

هكذا اميرنا أن نفعل بعلماءنا

“Demikian kami diperintahkan untuk sopan (memperlakukan) kepada ulama-ulama kami”.

Walhasil, Abdullah ibn ‘Abbas pun menjadi muridnya Zaid ibn Tsabit.

 

Bahaya belajar agama hanya dengan membaca (tanpa talaqqi atau tanpa mengaji pada para ulama):

 1. Buku ditulis oleh orang yang sesat (Wahabi dan semacamnya), sehingga ia akan tersesat seperti penulisnya.

 2. Buku ditulis oleh orang yang lurus (ulama Sunni), tetapi ada kesalahan cetak dalam buku karyanya, maka dia akan tersesat seperti bukunya.

 3. Bukunya ditulis oleh orang yang lurus (ulama Sunni), tetapi ada sisipan, dass, pemalsuan dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab, maka dia juga akan tersesat mengikuti buku itu.

 4. Buku ditulis oleh orang yang lurus, tidak ada salah cetak dan sisipan, tetapi dia salah paham terhadap buku tersebut, sehingga dia tersesat.

Karena itu, agar kita selamat....
Belajarlah kepada ulama yang bersanad dan tsiqah (terpercaya).
Janganlah belajar kepada para “kutu buku” yang mengajarkan sebuah kitab tanpa di-talaqqi-kanterlebih dahulu.

 

Banyak ustadz dan da’i kagetan yang mendadak menjadi ahli fatwa yang menghukumi halal-haram, bid’ah atau sunnah, dan mana yang sesat atau selamat. Mereka merasa cukup paham satu ayat dan sudah bisa ber-istinbath mengeluarkan fatwa. Alasan mereka adalah hadits Nabi SAW yang gemar mereka kutip: “Ballighu ‘anni walau ayat”, “sampaikan dariku meski hanya satu ayat”.

 
Bagaimana sebenarnya maksud hadits Nabi tersebut?


٣٢٠٢ – حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّحَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ


Telah bercerita kepada kami Abu ‘Ashim adl-Dlahhak bin Makhlad telah mengabarkan kepada kami Al-Awza’iy telah bercerita kepada kami Hassan bin ‘Athiyyah dari Abi Kabsyah dari ‘Abdullah bin ‘Amru bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”.

Hadits dari kitab shahih Bukhari (hadits nomor 3202) di atas biasanya dikutip tidak utuh, makanya saya cantumkan lengkap di atas. Hadits tersebut juga tercantum dalam Sunan Abi Dawud, hadits nomor 3177; Sunan At-Tirmidzi, hadits nomor 2593; dan Musnad Ahmad, hadits nomor 6198.

Tiga kitab hadits (Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi) mencantumkannya dalam bab Bani Israil. Kenapa? Nah di sini clue penting yang menjadi hilang kalau hadits di atas tidak dikutip secara lengkap seperti yang dilakukan para da’i dan ustadz dadakan itu.

Pertama, hadits di atas bicara soal penyampaian informasi. Rasul menjelaskan ayat yang beliau baru terima tidak selalu didepan semua sahabat. Adakalanya saat menerima wahyu Rasul didampingi oleh 2-3 sahabat. Atau saat memberikan penjelasan di masjid, ada sahabat yang tidak hadir. Ini sebabnya dalam riwayat lain Nabi bersabda “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir” (HR. Bukhari-Muslim).

Inilah konteks hadits ‘sampaikan dariku meski satu ayat’. Sahabat diminta menyampaikan penjelasan Rasul kepada yang tidak hadir atau tidak mendengar langsung dari Rasul agar mereka juga tahu apa penjelasan dari Rasul. Jadi, meski seorang sahabat hanya mendengar satu ayat, tapi kalau satu ayat itu tidak diketahui oleh yang lain, sampaikanlah. Begitulah penjelasan Ibn Hajar dalam Fathul Bari yang men-syarah-i hadits di atas.

Kedua, hadits di atas juga mengabarkan bahwa info yang disebar itu bukan hanya dari Rasul tapi juga dari bani Israil. Mungkin ini sebabnya hadits ini suka dipangkas karena sudah menyebut soal bani Israil. Kalau konsisten mau berdalil dengan hadits ini maka jelas kita harus sampaikan juga info lainnya termasuk dari bani Israil. Jangan menyembunyikan info untuk kepentingan tertentu.

Hadits di atas sesungguhnya tengah mengajarkan kita tentang pentingnya memberikan keseimbangan info. Mentang-mentang tidak suka dengan kelompok tertentu maka dalil bantahan mereka disembunyikan. Ini tidak benar karena info dari bani Israil saja kata Nabi tidak mengapa diceritakan, sebagaimana para sahabat menceritakan penjelasan ayat dari Nabi. Di sinilah tingginya muatan moral dari Nabi masalah penyebaran informasi ini.

Ketiga, ada satu larangan dalam hadits di atas, yaitu kita jangan bohong atas nama Rasul atau mengada-ngadakan cerita bahwa Rasul bilang begini dan begitu padahal itu tidak benar. Melakukan dusta atas nama Rasul ini akan dijamin masuk neraka seperti disebutkan dalam bagian akhir hadits di atas.

Walhasil, dengan membaca teks lengkap dan memahami konteks serta membaca syarh hadits tersebut, maka kita akan memperoleh pemahaman yang menyeluruh bahwa hadits di atas bukan bermakna boleh berdakwah apalagi mengeluarkan fatwa cuma dengan modal satu ayat. Menyampaikan berita atau informasi itu tidak sama dengan menyampaikan kandungan atau tafsir ayat Al-Qur'an.
Ibaratnya, bagian Humas dengan bagian Litbang itu jelas berbeda.
Yang satu cuma meneruskan informasi yang ada, dan yang satu lagi mengkaji dan meneliti informasi tersebut.

Jelas hadits tersebut kalau dibaca secara lengkap tidak bicara dalam konteks berdakwah apalagi memutus perkara halal-haram, atau dipakai untuk menyalah-nyalahkan orang lain yang berbeda pemahaman. Hadits di atas sejatinya bicara soal penyampaian, penyeimbangan dan akurasi informasi.

Allahu A’lam bish-shawab.

Tuesday 14 June 2016

Nasehat Lukman Al-Hakim Pada Anaknya


Nasehat Lukman Al-Hakim pada anaknya
 Satu-satunya manusia yang bukan nabi, bukan pula Rasul, tapi kisah hidupnya diabadikan dalam Qur'an adalah Lukman Al Hakim. Kenapa, tak lain, karena hidupnya penuh hikmah. Suatu hari ia pernah menasehati anaknya tentang hakikat hidup.
 "Anakku, jika makanan telah memenuhi perutmu, maka akan matilah pikiran dan kebijaksanaanmu. Semua anggota badanmu akan malas untuk melakukan ibadah, dan hilang pulalah ketulusan dan kebersihan hati. Padahal hanya dengan hati bersih manusia bisa menikmati lezatnya berdzikir."
 "Anakku, kalau sejak kecil engkau rajin belajar dan menuntut ilmu. Dewasa kelak engkau akan memetik buahnya dan menikmatinya."
 "Anakku, ikutlah engkau pada orang-orang yang sedang menggotong jenazah, jangan kau ikut orang-orang yang hendak pergi ke pesta pernikahan. Karena jenazah akan mengingatkan engkau pada kehidupan yang akan datang. Sedangkan pesta pernikahan akan membangkitkan nafsu duniamu."
 "Anakku, aku sudah pernah memikul batu-batu besar, aku juga sudah mengangkat besi-besi berat. Tapi tidak pernah kurasakan sesuatu yang lebih berat daripada tangan yang buruk perangainya."
 "Anakku, aku sudah merasakan semua benda yang pahit. Tapi tidak pernah kurasakan yang lebih pahit dari kemiskinan dan kehinaan."
 "Anakku, aku sudah mengalami penderitaan dan bermacam kesusahan. Tetapi aku belum pernah merasakan penderitaan yang lebih susah daripada menanggung hutang."
 "Anakku, sepanjang hidupku aku berpegang pada delapan wasiat para nabi. Kalimat itu adalah:
 1. Jika kau beribadah pada Allah, jagalah pikiranmu baik-baik.
 2. Jika kau berada di rumah orang lain, maka jagalah pandanganmu.
 3. Jika kau berada di tengah-tengah majelis, jagalah lidahmu.
 4. Jika kau hadir dalam jamuan makan, jagalah perangaimu.
 5. Ingatlah Allah selalu.
 6. Ingatlah maut yang akan menjemputmu
 7. Lupakan budi baik yang kau kerjakan pada orang lain.
 8. Lupakan semua kesalahan orang lain terhadapmu.

Monday 13 June 2016

10 MUTIARA YANG DIAMBIL SETELAH RASULULLAH WAFAT


10 MUTIARA YANG DI AMBIL SETELAH RASULULLAH WAFAT

Ketika Rasulullah saw dalam keadaan sakit yang menghantarkan beliau wafat, malaikat Jibril datang menemuinya.
Setelah berbincang sejenak, Rasulullah saw bertanya kepada Jibril: “Jibril, apakah kamu nanti masih akan sering turun ke bumi ketika aku sudah meninggal?”
Jibril menjawab: “masih Rasul, saya akan turun sepuluh kali lagi ke bumi, saya turun untuk mngambil sepuluh mutiara dari bumi ini sepeninggalmu”.
Rasulullah saw pun penasaran, lalu bertanya kembali: “Mutiara macam apa yang ingin kau ambil itu?”
Jibril menjawab:

لأَوَّلُ) أَرْفَعُ البَرَكَةَ مِنَ الأَرْضِ)

Mutiara pertama yang akan saya ambil dari muka bumi ini adalah: Barakah.
Para ulama biasa memaknai barakah dengan “ziyadatul khair”, yang secara bahasa dapat diartikan ‘tambah baik’. Artinya, sesuatu itu dianggap memiliki kebarakahan jika memang dapat melahirkan kebaikan yang lain.
Misalkan berdagang yang berkah itu akan menjadikan pedagangnya makin banyak bersedekah dan tambah rajin beribadah.
Begitu pula ilmu yang barakah itu akan menjadikan pemiliknya berperilaku semakin baik, tidak malah semakin buruk.
Ilmu akuntansi yang barakah tidak akan disalah gunakan oleh pemiliknya untuk korupsi.

 وَالثَّانىِ) أَرْفَعُ المَحَبَّةَ مِنْ قُلُوْبِ الخَلْقِ)

Mutiara kedua yang diambil oleh Jibril dari bumi adalah:
Rasa cinta dari hati manusia.
Jika demikian, maka yang tersisa hanyalah rasa benci. Lihatlah sekarang di sekitar kita apakah masih ada cinta dalam hati penguasa yang membuat rakyat dan para petani hidup makin sengsara.
Bagaimana ada cinta jikalau mereka tega mengimpor bahan baku dan menghancurkan harga lokal?
Apakah itu cinta?
Saya kira kita sudah bisa menilai dan menjawabnya.

(وَالثَّالِثُ) أَرْفَعُ الشُّفْقَةَ مِنْ قُلُوْبِ الأَقاَرِبِ

Mutiara yang ketika yang akan diambil Jibril dari bumi ini adalah: Rasa sayang diantara keluarga.
Jikalau harimau tidak akan memangsa anaknya sendiri, tetapi sering kali kita temukan anak dan orang tua saling membunuh, bahkan seorang ibu tega menjual bayinya. Atau bahkan seorang anak menjual bapaknya.
Bahkan dalam dunia politik yang semakin menghangat karena musim PILKADA berapa saudara yang telah berubah menjadi musuh?
Sepertinya rasa sayang antar keluarga semakin menipis. Namun demikian semoga Allah tetap melindungi kita semua.


 وَالرَّابِعُ) أَرْفَعُ العَدْلَ مِنَ الأُمَراَءِ)

Mutiara keempat yang akan diambil oleh Jibril dari bumi ini: Keadilan di hati pemimpin.
Rasa-rasanya mengenai hal ini kita bersama telah pandai menilai.
Apakah kekuasaan di sekitar kita masih mengandung keadilan?
Dapatkah disebut keadilan jika terjadi tebang pilih dalam penegakan hukum?
Na’udzubillah min dzalik.


 وَالخاَمِسُ) أَرْفَعُ الحَياَءَ مِنَ النِّساَءِ)


Mutiara kelima yang akan diambil oleh Jibril dari bumi ini adalah: Rasa malu dari perempuan.
Rasa malu itu kini telah dirubah menjadi rasa bangga. Bangga menjadi perempuan simpanan.
Bangga menjadi gadis gratifikasi seksual, bahkan sebagian menggunakan alasan seni demi menutupi rasa malu yang telah hilang.
Semoga kita semua terhindar dari yang demikian ini.

 وَالسَّادِسُ) أَرْفَعُ الصَّبْرَ مِنَ الفُقَراَءِ)


Mutiara keenam yang akan diambil oleh Jibril dari bumi adalah: Kesabaran dari para fakir.
Perlu diakui bahwa factor yang mengondisikan negara miskin dan berkembang tetap aman dan tertata adalah kesabaran para fakir dalam menerima bagian mereka. Namun, ketika golongan fakir miskin ini tidak sabar dengan nasib mereka, maka kesenjangan sosial bisa berubah menjadi kekacauan fisik.
Inilah yang tergambar dalam prosesi premanisme di berbagai kota.


 وَالسَّابِعُ) أَرْفَعُ الوَرَعَ وَالزُهْدَ مِنَ العُلَماَءِ)

Mutiara ketujuh yang diambil oleh Jibril dari bumi adalah:
Wara’ dan zuhud dari para ulama.
Wara’ adalah menjaga diri dari yang syuhbat dan yang haram, sedangkan zuhud itu tidak mementingkan harta-dunia, keduanya merupakan karakter para ulama.
Akan tetapi jika wara’ dan zuhud telah hilang dari ulama maka nilai ke-ulama-annya mulai berkurang.
Nampaknya inilah yang terjadi pada ulama kita.
Wajarlah jika akhir-akhir ini berbagai fatwa mereka tidak di dengar lagi oleh masyarakat.
Pengajian-pengajiannya hanya dianggap sebagai tontonan.

 وَالثَّامِنُ) أَرْفَعُ السَّخاَءَ مِنَ الأَغْنِياَءِ)


Mutiara ke delapan yang diambil oleh Jibril dari bumi adalah: Kedermawanan bagi orang kaya.
Diantara unsur yang dapat melanggengkan sirkulasi kehidupan ekonomi dan sosial di suatu masyarakat adalah kesabaran fakir dan kedermawanan orang kaya.
Keduanya akan saling mengisi.
Namun jikalau semua itu lenyap, maka harmonisme dalam satu masyarakat dapat hilang tergantikan dengan unharmonism.


 وَالتَّاسِعُ) أَرْفَعُ القُرْآنَ)


Mutiara ke Sembilan yang diambil oleh Jibril dari bumi adalah: Mengangkat al-Qur'an, tepatnya menghilangkan ruh al-Qur'an itu sendiri sebagai tuntunan dalam kehidupan.
Memang, kemajuan teknologi kini makin mempermudah telinga kita mendengarkan lantunan ayat-ayat al-Qur'an melalui mp3, DVD, online bahkan juga tafsirnya pun dapat diperoleh dengan mudah pula.
Akan tetapi semangat al-Qur'an itu sendiri sekarang makin pudar bersama dengan makin mudahnya mendengarkan al-Qur'an.
Meski demikian kita harus tetap berusaha memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa agar Jibril tidak mengambil mutiara ini.


 العاَشِرُ) أَرْفَعُ الإِيْماَنَ)


Dan terakhir, mutiara yang diambil oleh Jibril dari bumi adalah: Iman.
Mungkin ini adalah mutiara paling berharga diantara sembilan mutiara lainnya.
Atau bisa saja ini adalah urutan mutiara yang paling akhir yang akan diambil oleh Jibril.
Sebagaimana struktur teks hadits ini yang memposisikannya paling belakang.
Iman itu ada di hati semoga Allah menetapkannya dalam hati kita masing-masing.

Cewek yang paling 'jual mahal' se-dunia itu Rabi'ah al-Adawiyah


Cewek yang paling 'jual mahal' se-dunia itu Rabi'ah al-Adawiyah.


Cewek yang paling 'jual mahal' se-dunia itu Rabi'ah al-Adawiyah. Sufi sekelas Hasan Bashri pun ditolak 'mentah-mentah', tidak level. Ini kan luar biasa, jomblo jadi pilihan hidup.

Jomblonya Rabi'ah ini bukan jomblo biasa, tepatnya spiritualitas jomblo. Bukan jomblo sebab tidak laku, tetapi karena 'lelaku (tirakat)'. Bukan jual mahal karena pongah (angkuh) , tetapi sebab mahabbah.
Lalu,
 Jomblomu sebab apa?
 Jual mahalmu karena apa?



Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.
Sekalipun keluarganya berada dalam kehidupan yang serba kekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya ia jadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi.
Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan.

Sewaktu bayi Rabi’ah lahir malam hari, di rumahnya sama sekali tidak ada minyak sebagai bahan untuk penerangan, termasuk kain pembungkus untuk bayi Rabi’ah. Karena tak ada alat penerangan, ibunya lalu meminta sang suami, Ismail, untuk mencari minyak di rumah tetangga. Namun, karena suaminya terlanjur berjanji untuk tidak meminta bantuan pada sesama manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail pun terpaksa pulang dengan tangan hampa. Saat Ismail tertidur untuk menunggui putri keempatnya yang baru lahir tersebut, ia kemudian bermimpi didatangi oleh Nabi Muhammad Saw dan bersabda: “Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan dianut oleh 7.000 umatku.” Nabi kemudian bersabda lagi: “Besok kirimkan surat kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah, ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya bershalawat seratus kali untukku dan pada malam Jum’at sebanyak empat ratus kali, tetapi malam Jum’at ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayar denda kepadamu sebanyak empat ratus dinar.”
Ayah Rabi’ah kemudian terbangun dan menangis. Tak lama, ia pun menulis surat dan mengirimkannya kepada Amir kota Basrah itu yang dititipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu. Ketika Amir selesai membaca surat itu, ia pun berkata: “Berikan dua ribu dinar ini kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya dengan janggutku.”

 Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunya kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu. Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah dilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.
 Suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak, Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenaga Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. Ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuh terpeleset. Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau Ridla terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.”
Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari. Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya hingga siang hari.
 Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”, artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.
 Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.
 Dalam pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga dengan ditemani seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati di tengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.
Orang-orang itu pun memahami keinginan Rabi’ah, sehingga mereka meneruskan perjalanannya. Rabi’ah terdiam dan kemudian menundukkan kepalanya sambil berdoa, “Ya Allah, apalagi yang akan Engkau lakukan dengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkau-lah yang memanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi di tengah jalan Engkau mengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah padang pasir ini.”
Setelah asyik bermunajat, di depan Rabi’ah tampak keledai yang semula mati itu pun hidup kembali. Rabi’ah tentu saja gembira karena bisa meneruskan perjalannya ke Mekkah.

Saat Rabi’ah berada di tengah padang pasir, ia berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku. Hatiku ini merasa bingung sekali, ke mana aku harus pergi? Aku hanyalah debu di atas bumi ini dan rumah itu (Ka’bah) hanyalah sebuah batu bagiku. Tampakkanlah wajah-Mu di tempat yang mulia ini.” Bgeitu ia berdoa sehingga muncul suara Allah dan langsung masuk ke dalam hatinya tanpa ada jarak, “Wahai Rabi’ah, ketika Musa ingin sekali melihat wajah-Ku, Aku hancurkan Gunung Sinai dan terpecah menjadi empat puluh potong. Tetaplah berada di situ dengan Nama-Ku.”
Saat Rabi’ah dalam perjalanannya ke Mekkah, tiba-tiba di tengah ia melihat Ka’bah datang menghampiri dirinya. Rabi’ah lalu berkata, “Tuhanlah yang aku rindukan, apakah artinya rumah ini bagiku? Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang mendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akan berada sedekat urat nadinya.’ Ka’bah yang aku lihat ini tidak memiliki kekuatan apa pun terhadap diriku, kegembiraan apa yang aku dapatkan apabila Ka’bah yang indah ini dihadapkan pada diriku?” Singkat cerita, sekembalinya Rabi’ah dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudian menetap di Basrah dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah seraya melakukan perbuatan-perbuatan mulia.
Sebagaimana yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ah al-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah.
Suatu ketika, Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah. Tapi lamaran itu ditolaknya dengan mengatakan, “Wahai laki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan mereka. Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”
Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan juga memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki pendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab oleh Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.”

Ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikah dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan, “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.” Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
“Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”
“Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”
“Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu.”
“Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu.
 Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.
 Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
 Dalam kesendirianku,
 Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
 Karena cintanya itu,
 Tak ada duanya,
 Dan cintanya itu mengujiku,
 Di antara keindahan yang fana ini,
 Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
 Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
 Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
 Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
 Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
 Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
 Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
 Engkau-lah sumber hidupku,
 Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
 Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
 Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
 Karena itulah hidup kutuju.
 Begitulah, meskipun sebagai manusia, Rabi’ah tak pernah tergoda sedikit pun oleh berbagai keindahan dunia fana. Sampai wafatnya, ia hanya lebih memilih Allah sebagai Kekasih sejatinya semata ketimbang harus bercinta dengan sesama manusia. Meskipun demikian, disebutkan bahwa Rabi’ah memiliki sejumlah sahabat pria, dan sangat sedikit sekali ia bersahabat dengan kaum perempuan. Di antara sahabat-sahabat Rabi’ah yang cukup dekat misalnya Dzun Nun al-Mishri, seorang sufi Mesir yang memperkenalkan ajaran doktrin ma’rifat. Sufi ini meninggal pada tahun 856 M dan sempat bersahabat dengan Rabi’ah selama kurang lebih setengah abad. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pertemuan antara Dzun Nun al-Mishri dengan Rabi’ah ini terjadi sejak awal-awal usianya.
Di kalangan para sahabat sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekali berdiskusi dan berbincang tentang Kebenaran, baik siang maupun malam. Salah seorang sahabat Rabi’ah, Hasan al-Bashri, misalnya menceritakan: “Aku lewati malam dan siang hari bersama-sama dengan Rabi’ah, berdiskusi tentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah terlintas dalam benakku bahwa aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga Rabi’ah, tak pernah ada dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan akhirnya aku menengok dalam diriku sendiri, baru kusadari bahwa diriku tak memiliki apa-apa, yaitu secara spiritual aku tidak berharga, Rabi’ah-lah yang sesungguhnya sejati.

Pada suatu hari Rabi’ah melewati lorong rumah Hasan al-Bashri. Hasan melihatnya melalui jendela dan menangis, hingga air matanya jatuh menetes mengenai jubah Rabi’ah. Ia menengadah ke atas, dan berpikir bahwa hari tidaklah hujan, dan ketika ia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu dihampirinya sahabat yang sedang menangis tersebut seraya berkata, “Wahai guruku, air itu hanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat dari melihat ke dalam hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuk sungai yang di dalamnya tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecuali ia telah bersama dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.” Setelah mendengar kata-kata Rabi’ah itu, Hasan tampak hanya bisa berdiam diri.
Di kalangan para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah dirasakan banyak memberi manfaat. Hal ini dikarenakan Rabi’ah banyak sekali memperhatikan kehidupan mereka. Perhatian Rabi’ah yang cukup besar kepada para sahabatnya itu, misalnya saja dibuktikan dengan kisah sebagai berikut: Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang meminta agar Rabi’ah mendoakan untuk dirinya. Tapi permohonan itu dibalas oleh Rabi’ah dengan rasa rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turutlah perintah Allah dan berdoalah kepada-Nya, sebab Dia akan menjawab semua doa bila engkau memohonnya.”
Ke-zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah
Sebagaimana diungkapkan terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudah memiliki karakter yang tidak begitu banyak memperhatikan kehidupan duniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar hati-hatinya terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan saking zuhudnya, Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya, tetapi sebaliknya Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani Tuhannya. Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri di sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya. Ia meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah.
Tampaknya, keinginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawi ini benar-benar ia jalankan secara konsisten. Pernah misalnya Al-Jahiz, seorang sufi generasi tua, menceritakan bahwa beberapa dari sahabatnya mengatakan kepada Rabi’ah, “Andaikan kita mengatakan kepada salah seorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak, yang akan melayani kebutuhanmu di rumah ini.” Tetapi ia menjawab, “Sungguh, aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini, bagaimana aku harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?” Tiba-tiba terdengar suara mengatakan:
“Jika engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua dan Aku berkahi, tetapi Aku akan menyingkir dari dalam kalbumu, sebab Aku tak mungkin berada di dalam kalbu yang memiliki dunia ini. Wahai Rabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu. Aku tidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.”
Rabi’ah kemudian mengatakan, “Ketika mendengar peringatan itu, kutanggalkan hati ini dari dunia dan kuputuskan harapan duniawiku selama tiga puluh tahun. Aku salat seakan-akan ini terkahir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka akau katakana, “Ya Tuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan Engkau biarkan mereka menarikku dari-Mu.”
Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allah agar dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Namun, perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu saja dilalui. Di depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia hadapi. Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia, tak mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipun demikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang datang selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqr), namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayang Allah kepada Rabi’ah.
 Dalam satu kisah misalnya disebutkan, sahabatnya Malik bin Dinar pada suatu waktu mendapati Rabi’ah sedang terbaring sakit di atas tikar tua dan lusuh, serta batu bata sebagai bantal di kepalanya. Melihat pemandangan seperti itu, Malik lalu berkata pada Rabi’ah, “Aku memiliki teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan bantuan aku akan meminta kepada mereka.” Rabi’ah mengatakan, “Wahai Malik, engkau salah besar. Bukankah Yang memberi mereka dan aku makan sama?” Malik menjawab, “Ya, memang sama.” Rabi’ah mengatakan, “Apakah Allah akan lupa kepada hamba-Nya yang miskin dikarenakan kemiskinannya dan akankah Dia ingat kepada hamba-Nya yang kaya dikarenakan kekayaannya?” Malik menyahut, “Tidak.” Rabi’ah lalu kembali mengatakan, “Karena Dia mengetahui keadaanku, mengapa aku harus mengingatkan-Nya? Apa yang diinginkan-Nya, kita harus menerimanya.”
Sikap zuhud yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tiada lain agar ia hanya lebih mencintai Allah ketimbang makhluk-makhluknya. Karena itu, hidup dalam kefakiran baginya bukanlah halangan untuk beribadah dan lebih dekat dengan Tuhannya. Dan, toh, Rabi’ah menganggap bahwa kefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia harus terima dengan penuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, demikian menurut Rabi’ah, adalah datang dari Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknya itu, Rabi’ah sendiri telah melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlah engkau pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu.”
Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut:
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
 karena takut pada neraka,
 maka bakarlah aku di dalam neraka.
 Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
 campakkanlah aku dari dalam surga.
 Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
 janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
 yang Abadi kepadaku.
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.”
Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:
Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
 Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
 Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
 Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
 Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. 5: 59).
Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:
Tuhanku, malam telah berlalu dan
 siang segera menampakkan diri.
 Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
 hingga aku merasa bahagia,
 Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
 Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
 Selama Engkau beri aku hayat,
 sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
 aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
 telah memenuhi hatiku.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan:
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
 Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
 Dengan Cinta rindu,
 kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
 Dan bukan selain-Mu.
 Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
 di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
 agar aku dapat memandangmu.
 Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
 segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya.
 Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, 1928).
Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya
Dikisahkan, Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 90 tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.
 Berbagai kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, di antaranya pada masa menjelang kematian Rabi’ah, banyak sekali orang alim duduk mengelilinginya. Rabi’ah lalu meminta kepada mereka: ‘Bangkit dan keluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh Allah Yang Maha Agung!’ Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saat mereka menutup pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkan kalimat syahadat, setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Maka masuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. 89: 27-30).
Setelah itu tidak terdengar lagi suara apa pun. Pada saat mereka kembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itu telah meninggalkan alam fana. Para dokter yang berdiri di hadapannya lalu menyuruh agar jasad Rabi’ah segera dimandikan, dikafani, disalatkan, dan kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.
Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia. Setiap orang sudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpa dengan Tuhannya.
Karenanya, setelah kematian Rabi’ah, seseorang lalu pernah memimpikanya. Dia mengatakan kepada Rabi’ah, “Ceritakanlah bagaimana keadaanmu di sana dan bagaimana engkau dapat lolos dari Munkar dan Nakir?” Rabi’ah menjawab, “Mereka datang menghampiriku dan bertanya, “Siapakah Tuhanmu?’ Aku katakana, “Kembalilah dan katakan kepada Tuhanmu, ribuan dan ribuan sudah ciptaan-Mu, Engkau tentunya tidak akan lupa pada perempuan tua lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak pernah melupakan-Mu. Sekarang, mengapa Engkau harus bertanya, ‘Siapa Tuhanmu?’”
Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.